Enter your keyword

Sistem Otomatisasi dalam Pengolahan Data Seismik Berjumlah Banyak

Sistem Otomatisasi dalam Pengolahan Data Seismik Berjumlah Banyak

Dr.rer.nat. Andri Hendriyana, ST., MT.

Program Studi Teknik Geofisika

Kelompok Keahlian Seismologi Eksplorasi dan Rekayasa

 

Ilmu geofisika selalu berkembang dan semakin modern selaras dengan kemajuan dalam dunia instrumentasi dan komputasi. Bidang Geofisika, yang selalu mengandalkan data di permukaan, sangat terbantu dengan adanya capaian dalam bidang instrumentasi. Berbagai instrumen andal diperlukan untuk merekam sinyal yang membawa informasi geologi dari bawah permukaan bumi. Dalam tulisan ini, sinyal yang dimaksud adalah sinyal yang berasal dari penjalaran gelombang seismik (gelombang langsung ataupun pantul), sedangkan instrumennya disebut seismometer atau istilah umum yang digunakan dalam dunia eksplorasi adalah geofon (darat) dan streamer (laut). Pengambilan atau akuisisi data di lapangan merupakan tahap pertama dalam siklus analisis data geofisika yang harus dilakukan dengan baik untuk menjamin kualitas informasi yang direkam. Sebagai gambaran tentang kemajuan akuisisi ini, jika dulu panjang bentangan 1 km sensor seismik di laut (cable streamer) sudah cukup, maka sekarang penggunaan 4 km atau bahkan 6 – 8 km streamer dalam akuisisi seismik 3D adalah sudah biasa. Fenomena mengenai anisotropi baru berhasil diungkapkan dan dikarakterisasi setelah sensor yang panjang digunakan dalam industri migas. Informasi mengenai anisotropi seismik sangat berperan untuk meningkatkan keakuratan pencitraan bawah permukaan. Tahap selanjutnya adalah tahap pengolahan sinyal. Sinyal yang terekam menggunakan instrumen canggih tersebut akan menghasilkan data berjumlah banyak. Untuk mengolah data yang banyak, tentunya hardware (computer resources) dan teknik pengolahan (algorithm) yang canggih pun dibutuhkan. Apa keuntungannya kita mengolah data yang banyak yang dihasilkan oleh sensor yang banyak dalam dalam waktu lama (kontinu)? Keuntungannya adalah kita akan mampu meningkatkan resolusi baik dalam domain spasial maupun temporal. Sehingga akan semakin banyak informasi geologi yang didapatkan. Oleh karena itu, maka inovasi untuk mengembangkan teknik baru sebagai alternatif terhadap cara-cara konvensional yang aplikatif untuk data terbatas, sangat diperlukan.

 

Salah satu metode yang dihasilkan dari inovasi tersebut adalah Back –projection method (BPM) atau disebut juga Kirchhoff-like atau Diffraction stacking. Disebut Kirchhoff-like karena diadopsi dari metode Kirchhoff sebagai metode untuk migrasi data seismik refleksi dalam eksplorasi migas. Untuk memahami secara detil algoritmanya silahkan merujuk kepada referensi yang sudah sangat banyak jumlahnya dan diantaranya adalah Hendriyana dkk (2018). Dalam penelitian tersebut, BPM (dalam artikel tersebut disebut Diffraction stacking) digunakan untuk menentukan sumber gempa-gempa kecil pada lapangan panas bumi. Gempa-gempa tersebut dipicu oleh terjadinya perubahan sifat fisika (stress) batuan akibat variasi suhu, tekanan, dan lain-lain. Jika menggunakan metode klasik, kita harus memeriksa secara manual rekaman seismik satu persatu untuk semua station dalam rentang rekaman tertentu (misalnya enam bulan), maka dengan metode BPM hal tersebut tidak perlu dilakukan, namun hasilnya masih cukup akurat (setelah dilakukan validasi atau komparasi dengan metode konvensional). Keunggulan lainnya adalah hasilnya akan konsisten karena komputer tidak mengenal lelah atau kondisi psikologis.

 

Akhir – akhir ini metode BPM telah dikembangkan lebih jauh untuk mengolah data gelombang permukaan (Rayleigh). Metode ini digunakan untuk mengolah data seismik dalam rentang waktu Januari 2015 s.d. Desember 2016 yang terekam oleh lima buah seismometer di Kyushu, Jepang (Gambar 1). Metode BPM berhasil memetakan secara cukup akurat pusat gempa yang berkaitan dengan aktivitas fluida dalam system hidrotermal (very low frequency events dengan periode dominan sekitar 15s) sekitar kawah Nakadake. Pemetaan akurat ini, memungkinkan kita untuk menemukan adanya dua kelompok atau area aktivitas seismik, yaitu area seismik yang biasa dijumpai pada saat gunung api aktif (ataupun tidak aktif) dan area dengan seismisitas yang hanya dapat ditemukan sesaat setelah kejadian gempa Kumamoto 16 April 2016.

 

Gambar 1. Peta daerah penelitian, Kyushu bagian tengah. (a) Sebaran seismometer dan gempa-gempa susulan dari kejadian gempa Kumamoto 16 April 2016 dengan episenter ditandai oleh beach ball. (b) Sebaran gempa-gempa berkaitan dengan aktivitas hidrotermal dari system hidrotermal gunung Aso, terutama sekitar kawah Nakadake. Cluster dengan warna biru merupakan aktivitas hidrotermal dalam kondisi sebelum gempa Kumamoto sedangkan warna merah merupakan akitivitas seismik baru yang terjadi sesaat setelah kejadian Gempa. Gambar diambil dari Hendriyana dan Tsuji (2019).

 

Dalam interpretasi kami, hasil ini memberikan indikasi bahwa getaran yang ditimbulkan oleh rambatan gelombang permukaan dari gempa Kumamoto tersebut mampu mempengaruhi sistem hidrotermal sekitar kawah Nakadake. Hal ini dalam literature disebut sebagai akibat adanya dynamic stress. Dynamic stress dapat diestimasi dari rekaman gelombang permukaan. Karena letak kawah Nakadake cukup dekat dengan episenter gempa Kumamoto (Gambar 1a) bahkan ujung timur patahan yang aktif ketika gempa terjadi berada di batas barat kaldera Aso (Gambar 1b), maka static stress juga berperan dalam mempengaruhi system hidrotermal. Kedua jenis stress ini, bisa saja mengubah permeabilitas batuan sehingga akan mengganggu atau mengubah sirkulasi fluida panas dalam sistem hidrotermal. Sistem hidrotermal daerah ini didominasi oleh rekahan vertikal yang berfungsi juga sebagai konduit material volkanik mengalir ke permukaan. Perubahan tekanan, suhu dan adanya fluida dalam system hidrotermal ini yang memicu aktivitas seismik dengan frekuensi sangat rendah (periode 15 s).

 

Metode BPM juga dapat dikembangkan untuk proses monitoring selama proses hydraulic fracturing. Event – event seismik yang terjadi akibat batuan yang terrekahkan dapat dimonitor secara real-time sehingga efektivitas proses hydraulic fracturing dapat dievaluasi seketika itu juga. Jadi dalam waktu yang akan dating, kami akan mencoba untuk mengembangkan pendekatan otomatisasi ini ke arah tersebut.

 

Referensi:

X